Pak Harto: The Untold Stories
Penulis : Donna Sita Indria, Anita Dewi Ambarsari, Dwitri Waluyo, Bakarudin
Harga : Rp 300.000 (disc 10%)
Sinopsis :
"Piye to kok ora bisa ditulung (bagaimana sih kok tidak bisa
ditolong)?" adalah pertanyaan Pak Harto ketika ia merasa limbung
menghadapi kenyataan baru saja kehilangan belahan jiwanya, Ibu Tien
Soeharto-istri tercinta yang
puluhan tahun menemaninya mengarungi suka dan duka, istri yang selalu mengobarkan semangatnya, menuangkan kasih sayang, serta menguatkan hati.
puluhan tahun menemaninya mengarungi suka dan duka, istri yang selalu mengobarkan semangatnya, menuangkan kasih sayang, serta menguatkan hati.
Setetes air mata Pak Harto menandai kehilangan besar yang harus
diikhlaskannya hari itu, disaksikan Profesor Dr. Satyanegara yang selanjutnya
menjadi lebih sering menjaga kesehatan Pak Harto. Demikian pula perjalanan
hidup Pak Harto sejak muda yang terekam dengan baik dalam ingatan keluarga
besar, sesama kepala negara, para menteri, ajudan, serta orang-orang yang
bekerja bersamanya, menjelaskan sisi-sisi lain karakter Pak Harto yang sangat
jarang dipublikasikan, yang selama ini tersimpan sebagai the untold stories
seorang Pak Harto.
Masih dalam kenangan mesra Pak Harto bersama Ibu Tien, Brigjen TNI
(Purn) Eddie Nalapraya, yang berpangkat kapten ketika menjadi pengawal pribadi
Pak Harto di tahun-tahun awal menjabat Presiden RI, pernah mendapat pesan jenaka
dari Ibu Tien. Ibu Negara itu mengetuk-ngetuk jendela mobil sesaat sebelum
Eddie berangkat mengawal Pak Harto memancing ke laut lepas, "Jangan
memancing ikan yang berambut panjang ya...." Pesan canda buat sang
pengawal itu membuat Pak Harto tersenyum mendengarnya.
Sementara Profesor Dr. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada
masa pemerintahan Pak Harto, menuturkan kisah yang mengharukan ketika sepasukan
tentara disiapkan untuk menembaki serombongan gajah yang dilaporkan
memorakporandakan kebun-kebun warga desa transmigrasi di Lampung. Rupanya
hewan-hewan besar itu keluar dari hutan karena setiap enam bulan sekali mereka
perlu berendam di laut untuk mendapatkan garam.
"Mendengar rencana itu, Pak Harto segera memerintahkan agar
para tentara tidak menembaki kelompok gajah pada saat mereka pulang nanti,
melainkan menggiringnya melalui jalan yang berbeda, dengan menggunakan
peralatan yang bisa menghasilkan bunyi-bunyian seperti genderang dan terompet.
Maka pada perjalanan kembali ke habitatnya di atas bukit, gajah-gajah itu tidak
lagi menghancurkan kebun dan rumah di desa transmigrasi," cerita Pak Emil.
Ide sederhana Pak Harto ini berakhir tidak sederhana.
"Setelah berhari-hari mengawal kawanan gajah pulang ke hutan tempat
tinggalnya di atas bukit, beberapa tentara meneteskan air mata haru karena
dapat merasakan terbitnya kasih sayang di hati mereka terhadap hewan-hewan itu.
Presiden Soeharto lantas mengundang semua tentara yang bertugas dari yang
berpangkat terendah ke rumahnya di Jalan Cendana. Dengan riang Pak Harto
menyalami mereka satu per satu sebagai tanda terima kasih," cerita Pak
Emil.
Buku ini memang sarat bermuatan kisah-kisah human interest sebagai
bagian dari keseharian Pak Harto sejak muda hingga akhir hayatnya. Kisah
tentang seekor burung beo di halaman belakang yang akhirnya menjadi salah
bicara setelah Pak Harto berhenti dari jabatan presiden, isyarat dari alam
semesta mengenai akan terjadinya suatu peristiwa duka terhadap diri Pak Harto
melalui burung-burung camar yang merontokkan bulu-bulunya memenuhi geladak
kapal pada saat Pak Harto sedang bermalam di tengah laut, bahkan kisah tentang rumor
yang tidak bertanggung jawab di seputar wafatnya Ibu Tien Soeharto, semua
terpapar gamblang apa adanya di dalam buku ini melalui penuturan 113 narasumber
yang mengalami dari dekat berbagai peristiwa suka duka di sepanjang hidup Pak
Harto.
No comments:
Post a Comment